Adik saya adalah seorang pelukis muda. Dia tinggal di pulau Majorca di Spanyol. Ada pengalaman yang menyentuh hatinya. Belajar bersimpati dan menaruh pengertian terhadap orang lain.
Peristiwanya terjadi pada saat ibu saya akan pulang ke Jepang setelah dia pergi ke Spanyol menjenguk adik saya.
Pagi-pagi, ibu dan adik saya dengan nafas yang terengah-engah menurunkan dua kopor besar dari tingkat empat bangunan apartemen kuno yang memiliki sejarah 200 tahun itu.
Mereka lalu meletakkan tas perjalanan itu di pinggir jalan yang boleh dikata hampir tidak ada orang yang lewat. Sambil menunggu taksi mereka duduk diatas tas perjalanan itu.
Pulau Majorca bukan sebuah kota besar, tidak ada taksi yang sering berlalu lalang. Tentunya juga tidak bisa memesannya melalui telepon, hanya bisa menunggu di pinggir jalan, dan tidak ada siapapun yang tahu kapan taksi itu akan lewat.
Karena adik saya sudah tinggal di pulau ini selama tiga tahun, maka dia sangat paham akan keadaan tersebut. Dia nampak sangat tenang dan santai. Kehidupan di pulau ini berbeda sekali dengan kehidupan di Tokyo yang ritmenya cepat.
Kira-kira setelah lewat 20 menit, dari arah jalan yang berlawanan datang sebuah taksi. Adik saya segera berdiri serta melambaikan tangan memanggilnya. Namun begitu mengetahui di dalam taksi sedang duduk seorang penumpang dia menurunkan tangannya. Taksi itu pun melaju pergi melintas di depan mereka.
Namun setelah berjalan kira-kira 30 meter dari tempat mereka berada, taksi itu berhenti dan penumpang yang berada dalam taksi pun turun.
“Oh, betapa beruntungnya kami, penumpang taksi itu turun disini,” gumam adik saya.
Yang turun dari dalam taksi adalah seorang lelaki yang meskipun sudah berumur tapi masih nampak penuh dengan gairah hidup.
Adik saya ini rupanya merasa sangat senang dengan kejadian yang dianggapnya suatu keberuntungan. Tanpa menoleh lagi pada bapak tua itu, dia dengan sangat cepat lalu memasukkan tas perjalanannya ke dalam bagasi belakang mobil.
Setelah masuk dan duduk di dalam mobil, ia memberitahukan sopir taksi.
“Ke airport. Kami sungguh beruntung, terima kasih kepada Anda,”kata kami kepada sopir taxi itu.
Sopir taksi itu mengangkat bahunya dan berkata, “Kalau hendak berterima kasih, kalian berterima kasihlah kepada bapak tua itu, dia sengaja turun dari taksi lebih awal demi kalian.”
Ibu dan adik saya tidak mengerti apa maksud ucapan sopir taksi itu. Sopir itu menjelaskan sekali lagi kepada kami.
“Lelaki tua itu sebenarnya ingin pergi ke suatu tempat yang lebih jauh, tetapi setelah dia melihat kalian berdua dia berkata, “Saya turun di sini saja, biarkan dua orang penumpang itu naik taksi. Pagi-pagi begini sudah menunggu dipinggir jalan sambil membawa tas perjalanan, mereka pasti akan pergi ke airport. Jika demikian waktu yang mereka miliki pasti terbatas. Saya sendiri toh tidak punya urusan yang mendesak, biarlah saya turun di sini saja untuk menunggu kedatangan taksi yang berikutnya.” Maka dari itu jika kalian ingin berterima kasih, berterima kasihlah kepada lelaki tua itu,” tutur sopir itu.
Mendengar perkataan ini adik saya sangat terkejut, dia lalu dengan tulus meminta bapak sopir memutarkan taksi kembali untuk menemui bapak tua itu.
Ketika taksi lewat di samping lelaki tua itu, dari dalam jendela taksi adik saya berteriak menyatakan terima kasihnya kepada lelaki tua yang sedang berdiri di pinggir jalan dengan santai. Seraya tersenyum lelaki tua itu berkata, ”Selamat jalan, semoga kalian bergembira dalam perjalanan.”
Kemudian, di dalam surat yang dikirimkan kepada saya, adik saya menuliskan perasaannya.
“Selama ini sikap saya dalam hal memahami dan bersimpati kepada orang lain ternyata tarafnya masih sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan lelaki tua itu. Walaupun saya bisa bersikap penuh pengertian dan simpati terhadap orang lain, biasanya dalam hati kecil saya juga akan timbul rasa berbangga diri dan berpikir; bisa melakukan sampai taraf ini sudah lumayan, sudah bisa bersikap baik terhadap diri sendiri juga terhadap orang lain….. dengan demikian telah membatasi diri sendiri akan makna sesungguhnya dari “penuh pengertian dan simpati terhadap orang lain. Saya merasa sangat malu terhadap diri sendiri."
Adik saya melanjutkan tulisannnya.
"Saat ini saya benar-benar sangat ingin dapat menjadi seperti lelaki tua itu, menjadi orang yang dalam ketidak sengajaan pun bisa menampakkan sikap “penuh pengertian dan simpati” yang sangat mendalam terhadap orang lain. Suatu sikap yang bukan dibuat-buat, tetapi yang benar-benar tulus terpancar dari hati yang paling dalam." (Erabaru/hui)