Mengambil pulpen dan menulis di atas kertas sepertinya membuang-buang waktu, jika dibandingkan dengan menulis email.
Tetapi kadang kala kata-kata yang sangat berarti, adalah yang ditulis lewat tulisan tangan.
Hanya dengan membuka amplop dan membuka lipatan surat saja akan memberikan kepuasan bagi kita. Dan ketika kita telah selesai membaca surat tersebut, kita masih dapat menyimpannya dan membacanya lain kali.
Meskipun surat tersebut mungkin akan menguning seiring dengan berjalannya waktu, surat tersebut dapat melampaui waktu. Berikut ini, tiga wanita membagikan kepada kita surat-surat yang sangat menyentuh kehidupan mereka.
Ayah mengetahui yang Terbaik
Sebuah kotak terletak diatas meja saya. Di dalamnya terdapat koleksi surat-surat yang sangat berarti dan berharga, yang pernah saya terima. Surat-surat tersebut dari ayah saya, yang meninggal karena kanker pada tahun 1997.
Ayah saya menulisnya untuk saya dan kedua adik saya. Mungkin surat tersebut tidaklah ditulis di atas kertas mewah ataupun menggunakan pulpen yang mahal, tetapi surat-surat tersebut memenuhi setiap relung dalam hati saya.
Saya masih kelas 2 SD ketika ayah saya didiagnosa menderita kanker. Beliau meninggal sekitar setahun setelahnya.
Dalam waktu setahun tersebut, ketika menjalani serangkaian kemo terapi dan juga pembedahan, ayah saya dapat mengumpulkan kekuatannya untuk duduk dan menulis mengenai memori-memorinya dan juga kata-kata bijak untuk anak perempuannya.
Beliau menulis sekitar 25 surat secara keseluruhan – beberapa untuk kita bertiga, beberapa hanya ditujukan kepada masing-masing pribadi.
Ibu kami menyimpannya sampai kami siap untuk membacanya. Kadang kala ayah saya menulis kejadian kejadian sepele : Bagaimana Ali, bayi dalam keluarga kita, apakah balita itu telah dapat berlari lari mengitari rumah dan memanggil “Pa-Pa.” Senyum di wajah McKenzie yang berumur 5 tahun ketika dia membawa boneka beruang untuknya.
Selain itu ayah juga menulis mengenai permasalahan penting. Mengenai rokok, obat-obatan dan alkohol, beliau menulis, “Seseorang akan menyukai kita apa adanya, bukan karena kita memakai hal-hal tersebut. Seseorang yang mampu terlihat menarik dan luwes dalam pergaulan tanpa tergantung pada hal-hal tersebut akan mempunyai kepribadian yang membuat orang-orang ingin bersamanya dalam jangka waktu lama.”
Dan nasehat beliau mengenai dunia kuliah dan pekerjaan, yang berkaitan dengan saya yang saat ini yang menginjak umur 21 tahun: “Ingatlah selalu, seperti sebuah rantai hanya akan kuat jika sambungan antaranya kuat, seseorang akan kuat dengan memperkuat dimensi kelemahannya. Tetaplah berusaha.”
Tiga belas tahun telah berlalu sejak meninggalnya ayah saya, dan dalam jangka waktu tersebut, banyak yang telah terjadi: McKenzie dan saya duduk di bangku kuliah, Ali telah masuk sekolah tinggi, dan sudah waktunya bagi saya untuk mencari pekerjaan.
Kami telah melewati kencan pertama kami, kami telah memenangkan kejuaraan negara bagian kami yang pertama dan kami telah jatuh cinta.
Ayah saya tidak berada bersama dengan kami, secara fisik, tetapi kami dapat merasakan kehadirannya karena surat-suratnya. Kadang kala, ketika saya bimbang atas keputusan yang saya buat, saya akan membaca kembali surat-surat tersebut. Kata-katanya membimbing dan menyemangati saya. Kekuatannya menginspirasi saya.
Ayah selalu mengakhiri surat-suratnya dengan kata-kata “Saya mencintaimu dengan sepenuh hati,” dan setiap kali saya membaca kata-kata tersebut, itu mengingatkan saya betapa beliau sangat mencintai –dan akan tetap mencintai – saya, adik adik saya, ibu saya, keluarganya dan juga teman-temannya. Saya tahu meskipun saya tidak dapat melihat ayah, dia selalu “hadir” di setiap sudut pertandingan sepak bola atau berdiri di luar ketika saya sedang menjalani wawancara pekerjaan, menyemangati saya. (Sloane Beaver)
“Kepada saya….”
Ketika saya berumur 32 tahun dan sangat kewalahan menghadapi hidup ini. Sedang hamil, bekerja dan memiliki dua orang anak. Saya melihat hidup saya seperti hilang dalam kesibukan mengganti popok, pertemuan bisnis dan kemacetan panjang.
Saya tahu kekacauan sangat parah sedang terjadi dalam hidup saya, tetapi saya sangat lelah untuk mengubahnya.
“Coba untuk tidak terlalu terburu buru setiap saat,” kata ibu saya suatu hari ketika saya mengantar anak saya ke rumahnya.
”Dan sebelum saya lupa, ini ada surat yang baru datang untukmu.” Dia memberikan sepucuk surat dari Universitas Emory, almameter saya.
Sepertinya waktu telah berlalu lama, sejak saya lulus kuliah. Dan beberapa tahun telah berlalu sejak saya menggunakan nama belakang ayah saya atau tinggal di rumah orang tua saya.
Penasaran, saya menurunkan anak saya dan membuka surat tersebut.
Untuk Sharon,
Bagaimana kabarmu? Atau seharusnya saya katakan, bagaimana kabar saya? Profesor psikologi kami meminta kami untuk menulis surat kepada diri kami sendiri di masa mendatang. Dia berjanji akan mengirimkan surat tersebut 10 tahun setelah kami lulus.
Jika kamu membacanya, pasti umur kamu sudah 32 tahun. Wow! Sangat tua. Masa kuliah telah lewat. Empat tahun kuliah yang diisi dengan belajar, mengerjakan tugas, ujian, diselingi berpesta dengan kawan-kawan. Saya harap kamu sudah menikah dan memiliki anak, dan juga pekerjaan di bidang jurnalisme atau di psikologi. Saya tidak ingin mempelajari semua pelajaran itu dengan sia-sia!
Salam, Sharon.
Jantung saya berdebar. Apakah saya telah dihubungi oleh masa lalu saya? Ingatan saya terhadap tugas tersebut telah terlupakan dan terbuang sejalan dengan kelulusan saya. Sepuluh tahun kemudian, surat tersebut tiba tanpa diduga, pada saat yang sangat tepat.
Ketika saya membaca dalam surat tersebut, kata-kata penuh harapan dan ringan, dari saya yang berumur 22 tahun, secara tiba-tiba saya melihat dunia saya menjadi terang. Apa yang saya cita-citakan ketika kuliah dulu, telah menjadi kenyataan.
Tetapi dalam keadaan saya yang sekarang, saya tidak mampu untuk mensyukurinya. Masa lalu saya, masa sekarang dan masa depan layak mendapatkan yang lebih baik lagi. Saya tahu saya harus segera menyeimbangkan hidup saya.
Dalam jangka waktu enam bulan setelah saya membaca surat tersebut, suami saya, anak-anak saya dan saya pindah ke rumah baru. Rumah tersebut lebih kecil dibandingkan dengan yang sebelumnya, tetapi telah memberi kelonggaran dalam hal kemacetan. Saya juga memutuskan untuk mengubah waktu kerja saya menjadi kerja paruh waktu – sesuatu yang sebelumnya tidak berani saya lakukan – sehingga memberi kesempatan kepada diri saya sendiri untuk bernafas.
Bulan April yang lalu, saya memasuki umur 43 tahun. Saya meniup lilin di kue ulang tahun saya, menidurkan anak-anak saya, dan duduk menulis surat untuk masa depan saya dalam sebuah jurnal – hal ini yang telah saya lakukan setiap tahun sejak ulang tahun saya yang ke-32. Dan setiap kali saya ingin menyemangati diri saya sendiri, saya akan membaca ulang beberapa surat tersebut. Saya tidak dapat berpikir hadiah yang lebih baik daripada surat-surat yang saya berikan pada diri saya sendiri setiap tahunnya. (Sharon Duke Estroff)
Melihat diri Saya Sendiri yang Sesungguhnya
Ketika saya masih duduk di sekolah tinggi, saya pergi berkemah dengan teman-teman kelas saya.
Suatu malam, seorang anak laki-laki tinggi besar bernama Tom yang ikut dalam program khusus di perkemahan tersebut, duduk di samping saya dekat perapian. Saya yakin dia sedang berusaha mendekati teman saya Barbara, si pirang yang sangat cantik. Anak laki-laki tersebut sangatlah tampan.
Tidak sebanding dengan saya, seorang anak perempuan sederhana berkacamata, yang tidak percaya diri dengan rambut yang berwarna kusam dan kaku. Tidak ada anak laki-laki tampan yang mau berbicara dengan saya.
Tetapi Tom tetap tinggal bahkan ketika Barbara telah pergi beristirahat ke tendanya, dan kami berbicara hingga perapian padam. Dia memberitahukan pada saya bahwa dia sedang menjalani program rehabilitasi kenakalan remaja. Dan saya memberitahukan padanya mengenai kehidupan lurus saya sebagai seorang remaja yang berkelakuan baik. Ketika kami berpisah, dia meminta alamat saya – untuk terus berhubungan, katanya, karena kita tinggal berjauhan. Tetapi, saya masih curiga kepadanya.
Seminggu kemudian, suratnya tiba. Dia menulis bagaimana dia sangat menikmati pembicaraan kami. Saya membalas suratnya, dan dalam surat berikutnya dia meminta foto saya untuk mengingatkan dia betapa cantiknya saya. Cantik? Dia pasti mengira saya adalah orang lain, pikir saya. Pasti bukan saya! Saya tetap mengambil kesempatan ini dan mengirimkan foto saya kepadanya.
Dalam surat balasannya, dia mengatakan bahwa saya lebih cantik dari yang diingatnya. Saya terus membaca kata-kata tersebut berulang kali. Dan semakin banyak saya membacanya, saya semakin percaya kata-kata tersebut benar. Ketika saya meninggalkan bangku sekolah sebulan kemudian, saya tidak lagi berpikir saya adalah anak perempuan jelek yang dikelilingi oleh anak-anak cantik. Saya merasa saya cantik.
Tom dan saya kehilangan kontak setelahnya, tetapi 25 tahun telah berlalu, saya masih menyimpan suratnya. Ketika setiap kali saya membacanya, itu mengingatkan saya bagaimana dia telah merubah persepsi keseluruhan tentang diri saya. Musim panas tersebut, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, seorang anak laki-laki telah memilih saya. Dia mengatakan bahwa saya cantik. Dan saya juga merasakan rasa cantik tersebut! (Leslie Pepper)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar